Ali bin Muhammad al-Syaibani al-Jazari al-Turki al-Mushili al-‘Iraqi al-Syafi’iy Izzuddin Ibn al-Atsir (w. 630 H) menginfokan sahabat Nabi suci Muhammad saw bernama Hudzaifah Ibn al-Yamani (w. 36 H) adalah sosok yang sangat unik, lantaran Ibn al-Yamani terbiasa bertanya pada kanjeng Nabi suci saw mengenai kejahatan agar dia bisa menghindarinya (Usud al-Gabah fi Ma‘rifah al-Shahabah).
Karakternya tersebut berbeda dengan kebanyakan orang yang bila melihat, mendengar dan bahkan mengetahui sesuatu maka hal yang lumrah mereka tanyakan adalah kebaikan apa, keuntungan berapa, hadiah apa yang akan diperoleh.
Style Hudzaifah berada dalam kategori konstan dan permanen untuk membentuk dan memastikan dirinya selalu berada dalam kebaikan jika kejahatan telah diketahui seluk-beluknya. Logikanya sangat sederhana, bila seseorang hanya mengetahui kebaikan belum tentu dia bisa selamat dari perangkap kejahatan dan keburukan, apalagi kejahatan dihiasi kebaikan pada awalnya sehingga kebanyakan orang akan melihat itu adalah kebaikan karena yang tampak adalah baik padahal di dalamnya ada kejahatan yang dituju.
Ini jelas berbeda bila kejahatan telah dia ketahui seluk-beluknya secara pasti, maka dia tidak sulit melihat apa itu kebaikan meski muncul dengan model yang beragam. Konteks inilah yang pernah Hudzaifah sampaikan pada orang yang bertanya padanya: “fitnah apa yang paling dahsyat?” kata Hudzaifah: “bila dihadapkan/ditawarkan padamu kebaikan dan kejahatan, engkau tidak tahu mana dari keduanya yang akan engkau tunggangi (kerjakan/pilih)” (al-Isti‘ab fi Ma‘rifah al-Ashab).
Agaknya
perbendaharaan Hudzaifah di atas menyebabkan Nabi suci saw memilihnya sebagai
pemegang rahasia orang-orang munafik di sekeliling Nabi suci saw dan sahabatnya: صاحب سر رسول
الله صلى الله عليه وآله وسلم في المنافقين .
Pasca
wafat Nabi suci saw, khalifah Umar ra (w. 23 H) mengamati bila Hudzaifah tidak
menghadiri jenazah tertentu maka Umar pun demikian. Walaupun ketidak hadiran
Hudzaifah bukan semata-mata alasan kalau jenazah itu adalah orang munafik,
sebab ketidak hadirannya bisa disebabkan hal lain misalnya Hudzaifah lagi sakit
dan sebagainya. Nampaknya apa yang Umar lakukan lebih ke inisiatifnya sendiri,
terlebih Hudzaifah tak pernah menyatakan kalau dia tidak menghadiri jenazah
tersebut karena alasan kalau jenazah itu termasuk munafik.
Beratnya
karakter Hudzaifah dalam konteks kehidupan bila berhadapan dengan komunitas
yang memoles kejahatan seolah-olah itu adalah kebaikan. Mengapa? karena dua
alasan.
Pertama,
komunitas merupakan sebuah jaringan, bukan individual lagi. Dipastikan
kejahatan yang dibangun dalam sebuah jaringan maka daya rusaknya akan lebih
kuat, meluas, dan meskipun orang-orang baik tahu namun kadang tak berdaya
disebabkan mereka hanya sendiri dan tidak memiliki jaringan. Konteks ini
menyadarkan ulama seperti al-Bashri (w. 110 H), Raja’ bin Haiwah (w. 112 H) dan
lainnya membangun jaringan untuk menggolkan Umar bin Abd Aziz (w. 101 H)
menjadi pemimpin.
Tentu
jaringan tidak harus dalam bentuk kekuatan politik seperti contoh tersebut, melainkan
dapat berupa kekuatan moril, perjuangan kultural, berkesinambungan juga masuk
dalam konteks ini seperti ide Gus Dur (w. 2009 M);
kedua,
kesamaran yang komunitas tersebut tampilkan di antara kebaikan dan
kejahatan sehingga banyak orang dapat terjerumus dalam kesamaran itu. Hal ini menjadi
bagian yang cukup sulit sebab kejahatan, persekongkolan negatif yang dituju
namun kebaikan yang ‘terlihat’ seolah berdasarkan aturan dan hukum padahal
tidak. Bahkan sebuah kejahatan diulang terus-menerus akhirnya dianggap kebaikan.
Di sinilah spirit Hudzaifah berbicara tegas sebab di antara keduanya tak
mungkin menyatu.
Pada
akhirnya orang berakal akan memilih, menjaga, meneruskan dan memperjuangkan apa
yang Hudzaifah lakukan atau meninggalkannya. Memang benar bahwa setiap orang
tidaklah sempurna dan pasti berdosa, dan kita sebagai individu pernah berlaku
munafik. Hanya saja sikap munafik jika terorganisir akan melahirkan kejahatan bahkan
dianggap kebaikan dengan berbagai dalih dan dalil, sehingga kejahatan itulah
adalah kebaikan yang semu.
Sebaliknya pelaku kebaikan hanya ‘memprioritaskan’ (menelisik) hal yang buruk selama perbuatan baiknya belum muncul agar terhindar dari keburukan, mirip dengan kata sang Budha: Bhadropi passati pāpaṃ,Yāva bhadraṃ na paccati. Artinya, pembuat kebajikan hanya melihat hal buruk, selama buah perbuatan bajiknya belum masak. (Dhammapadha: IX Papa Vagga; 120).