Saya terkesan dengan riset yang
dikerjakan oleh Wendy Wood, seorang peneliti yang melakukan percobaan unik di
sebuah bioskop. Dalam studinya, dia mendistribusikan popcorn cuma-cuma kepada
para pengunjung bioskop. Namun, ada yang menarik dari eksperimen ini: setengah
dari peserta mendapat popcorn yang masih hangat dan gurih, sedangkan separuh
lainnya menerima popcorn yang telah disimpan selama tujuh hari hingga menjadi
keras dan kehilangan cita rasanya.
Hasil penelitian ini sungguh
mencengangkan. Para penonton yang jarang mengonsumsi popcorn ketika menonton
film segera mendeteksi bahwa makanan ringan tersebut tidak layak santap dan
langsung menghentikan konsumsinya. Namun, respons yang berbeda datang dari
kelompok yang memiliki kebiasaan rutin menyantap popcorn setiap kali ke
bioskop. Mereka justru terus memakan popcorn yang sudah tidak segar itu,
seakan-akan kualitas rasa bukanlah faktor yang menentukan.
Apa yang menyebabkan fenomena ini
terjadi?
Interpretasi Wendy Wood terhadap hasil
ini sangat mencerahkan. Menurutnya, pikiran para penonton yang memiliki
kebiasaan makan popcorn di bioskop sedang berfungsi dalam kondisi
"otomatis", mereka tidak sedang melakukan evaluasi atau merasakan
secara sadar, melainkan hanya menjalankan rutinitas yang telah tertanam kuat
dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam mindset mereka, "Bioskop =
konsumsi popcorn" tanpa mempertimbangkan kualitas rasa, tanpa proses
evaluasi yang disengaja, tanpa pengambilan keputusan yang aktif, semata-mata
menjalankan pola perilaku secara mekanis.
Untuk memvalidasi teorinya lebih
dalam, Wendy melakukan eksperimen lanjutan dengan modifikasi tertentu. Kali
ini, para partisipan tetap diberikan popcorn dalam kondisi segar dan basi,
namun setting-nya diubah. Mereka tidak lagi berada di dalam bioskop, melainkan
ditempatkan di lingkungan laboratorium dan hanya disuruh menonton klip musik.
Bagaimana hasilnya?
Perubahan yang terjadi sangat
signifikan. Dalam kondisi ini, seluruh partisipan menampik popcorn yang sudah
tidak segar, termasuk mereka yang sebelumnya di bioskop mengonsumsinya tanpa
keberatan. Mereka hanya mau menyantap popcorn yang masih dalam kondisi baik.
Temuan ini membuktikan bahwa setting
lingkungan memiliki peran krusial dalam mengaktifkan pola kebiasaan. Karena
mereka tidak berada di bioskop, otak mereka tidak beroperasi dalam mode
otomatis. Tanpa adanya stimulus kebiasaan, mereka mampu berpikir dengan lebih
jernih dan rasional.
Saat membaca tentang riset ini, saya
merasakan pencerahan yang mendalam. Tanpa saya sadari, saya memiliki pola
perilaku yang mirip, bukan terkait popcorn, namun dengan ponsel pintar saya.
Setiap pagi saya memiliki ritual yang saya nikmati: terbangun dari tidur,
menyiapkan kopi tanpa tambahan gula, kemudian membaca buku digital melalui
iPad, baik dari aplikasi iPusnas maupun Google Play Book. Namun kemudian saya
menyadari adanya satu kebiasaan yang sangat mekanis. Saat sedang asyik membaca,
entah mengapa, tangan saya secara spontan bergerak menuju smartphone. Bahkan
saat tidak ada pemberitahuan masuk. Saya membuka layar, menelusuri Instagram
tanpa maksud yang jelas, hanya untuk kembali membaca sejenak, kemudian beberapa
saat kemudian mengulangi aksi yang sama.
Tanpa kesadaran, saya terus-menerus
mengganggu waktu paling berharga saya hanya karena dorongan otomatis yang tidak
saya pahami. Tangan saya secara spontan mencari ponsel. Ini bukan keputusan
yang disadari, ini adalah autopilot.
Smartphone saya adalah "popcorn
basi" dalam rutinitas pagi saya. Kehadirannya tidak memberikan manfaat apa
pun. Malah sebaliknya, eksistensinya merusak momen ketenangan saya, waktu
langka yang biasanya saya gunakan sebelum pergi ke kampus, ketika pikiran masih
jernih dan belum terbebani dengan berbagai urusan akademis.
Setelah menyadari pola ini, saya mulai
mencoba melakukan modifikasi sederhana namun memberikan dampak yang signifikan.
Saya memutuskan untuk menyimpan dan meninggalkan ponsel di ruangan lain
sehingga ketika bangun pagi saya langsung mengambil iPad untuk fokus membaca.
Pada awalnya terasa janggal, saya
masih merasakan kegelisahan untuk mengecek ponsel, otak saya sempat bingung
sesaat. Tetapi justru pada momen itulah saya memperoleh pembelajaran berharga.
Karena tidak ada interupsi, saya bisa kembali larut dalam bacaan. Tidak ada
gangguan, tidak ada jeda untuk memeriksa platform media sosial. Waktu
ketenangan itu kembali utuh dan bermakna.
Dari eksperimen Wendy Wood, saya memperoleh satu pelajaran berharga: terkadang yang perlu kita modifikasi bukan tekad atau motivasi, melainkan lingkungan di sekitar kita. Mengandalkan kekuatan mental semata tidak cukup memadai ketika berhadapan dengan kebiasaan bawah sadar. Namun ketika kita mengubah lingkungan dengan menghilangkan pemicunya, kita memberikan kesempatan bagi kesadaran untuk kembali hadir.