Dialah Guru kita yang sangat pandai berpidato dengan retorika khas dan memikat khalayak. Bersuara lantang, jernih, dan bersih. Dalam sejarah hidupnya, ia memiliki dua nama: Ustad Gani dan AGK.
Berabad-abad lalu William Shakespeare
(1564—1616) memang menihilkan arti sebuah nama dengan pertanyaan retoris,
What’s in a name? Tetapi, studi-studi mutakhir tentang nama tempat dan nama
manusia atau tepatnya nama-nama tokoh dalam lintasan sejarah menunjukkan bahwa
nama bukan sekadar nama. Bukan cuma perkara kata. Nama itu hidup dan dihidupkan
oleh milieu budaya, sejarah, bahkan mengemban pesan keagamaan.
Ada sebuah buku anyar tentang nama. Duo
Francesco, Francesco Perono dan Francesco Cavallaro menulis buku Place Names:
Approaches and Perspectives in Toponymy and Toponomastics (2023). Buku ini
ditulis berdasarkan riset-riset lintasbudaya dan lintasgeokultural tentang nama
tempat, nama orang atau nama tokoh. Studi tentang nama tokoh disebutnya
antroponimi. Sebagaimana nama-nama tempat (place names), nama-nama tokoh juga
mengandung makna kultural historis. Nama-nama tokoh tersebut dapat dibaca dalam
kerangka kesejarahan untuk satu kurun waktu (sinkronik) dan dalam kerangka
lintaswaktu (diakronik).
Ada banyak contoh tentang sejarah nama para
tokoh, tetapi dalam waktu yang singkat ini, saya hanya ingin membaca dan
menuliskan apa makna Ustad Gani dan makna AGK. Sebagai definisi ringkas, Ustad
Gani adalah nama kultural, sedangkan AGK adalah nama politik. Karena alasan
hiruk pikuk politik dan kerumitan birokrasi, saya tidak bisa menulis dan
menafsir makna nama AGK.
Ustad Gani dan AGK punya dua titik temu.
Pertama, merujuk kepada tokoh yang sama. Kedua, dalam studi tentang nama ada
dua sumber pemberian nama: endonim (nama yang diberikan diri pemilik nama) dan
eksonim (nama yang diberikan oleh khalayak). Ustad Gani dan AGK adalah nama
eksonim, nama yang diberikan oleh khalayak kepada tokoh ini. Ustad Gani dan AGK
bertemu dalam nama eksonim.
Dari mana asal nama Ustad Gani yang bersifat eksonim itu? Jawaban yang paling pertama adalah nama ini berasal dari Alkhairaat, yang punya tradisi memanggil para guru mereka dengan atribut ustadz ‘guru lelaki’ dan ustadzah ‘guru perempuan.’ Ini konvensi persapaan yang honorific, yang takzim dalam pendidikan Alkhairaat.
Bagai meteor dakwah
Ustad Gani kemudian mengembara ke seluruh
pelosok Maluku Utara dalam dekade 1970—1990an.
Kurun waktu dua sampai tiga dekade, Ustad Gani, nama eksonim di lingkup
Alkhairaat itu kemudian menjadi jenama alias branded dalam jagat dakwah
masyarakat akar rumput Maluku Utara. Dalam bahasa mondial, Ustad Gani
menitahkan dirinya sebagai “selebritas” dakwah. Tandanya? Siapa orang-orang
kampong yang tidak hanya kenal, tetapi menunggu-nunggu kedatangan beliau!
Kampung-kampung di Maluku Utara selalu menunggu dengan semangat dan rindu nama ini. Sedikitnya ada tiga peristiwa penting dalam setahun menandai penantian kedatangan Ustad Gani: Maulid Nabi, Isra Mikraj, dan Nuzul Qur’an.
Ustad Gani melintasi kampung dalam tiga
peristiwa dakwah tersebut. Dari satu kampung ke kampung, melintasi laut,
bertaruh dengan angin dan ombak. Ustad Gani adalah pengembara dalam dakwah.
Siapa orang dan kampung apa yang tidak menanti-nanti kadatangan Ustad Gani.
Kasidahan ibu-ibu di pantai-pantai setiap kampung, bahkan jemputan dengan
perahu cadik atau sampan, adalah riuh rendah dakwah Ustad Gani. Tak peduli yang
rajin dan malas salat, yang rajin dan malas puasa, bahkan yang pemabuk
bergembira mendengar kabar bahwa Ustad Gani akan datang berceramah ke kampung
mereka.
Tenda manual dari kayu, bambu, dan seng bahkan
dengan katu (daun pohon sagu) dibangun. Pelataran masjid dihias dengan janur.
Logistik disiapkan, kampung dirapikan, bahkan hari-hari jelang kadatangan Ustad
Gani, kampung seperti menjeda diri dari aktivitas rutin. Semua dari sumberdaya
masyarakat. Kalau sudah begini, venue acara bukan saja lokasi, tetapi tempat
orang-orang berkumpul bercengkerama menanti Sang Dai yang mereka sapa dengan
takzim, Ustad Gani. Pada hari-H Ustad Gani tiba, orang-orang “tersedot” ke
tempat penjemputan. Orang-orang rehat sejenak untuk tidak pergi ke kebun atau
melaut. Mereka gembira karena dua peristiwa: kedatangan Ustad Gani dan menanti
dengan penuh harap, penuh gembira, malam nanti, Ustad Gani berpidato di atas
podium rakitan “produksi kampung” berbalut janur, di bawah sinar strongkeng
alias lampu pertromax. Tidak usah menghitung berapa strongkeng, berapa botol
minyak tanah, bahkan berapa kaos lampu. Kakek-nenek, ayah-ibu, anak-anak,
bahkan cucu pun dibawa. Tak ada menyuruh, memerintah, apalagi memaska.
Ustad Gani adalah magnet dakwah, bahkan magnet
itu seperti meteor yang melintasi kampung-kampung. Bahasa dakwahnya tidak hanya
lugas tetapi orang kampong mendapati dirinya ada dalam setiap ucapan Ustad
Gani. Ia bertutur, ia bercakap seperti bahasa yang digunakan orang kampong
dalam hidup sehari-harinya. Orang malas salat dan puasa, tetiba berubah menjadi
rajin salat dan puasa. Pemabuk meninggalkan saguer dan captikus-nya. Yang
berseteru kemudian berdamai. Yang malas sekolah kemudian rajin sekolah. Bahkan,
yang tak mau belajar di madrasah kemudian masuk Alkhairaat yang baru didirikan
di kampung itu. Padahal, dakwah Ustad Gani adalah dakwah yang tidak menekan,
apalagi menggurui, apalagi menakut-nakuti. Kedatangan Ustad Gani adalah
tumbuhnya etos dalam beragama. Euforia itu melintasi kampung-kampung. Cuma
seorang yang datang tetapi menggerakkan energi sosial di kampung-kampung.
Sekali menanam, dua visi Alkhairaat tumbuh
Semua Abnaulkhairaat--sebutan untuk murid-mudrid yang belajara Perguruan
Alkhairaat—pasti tahu dan paham bahwa Guru Tua—Al-‘Alim al-alllama Alhabib Idus
Bin Salim Al-Jufrie—mendirikan Alkhairaat dengan dua tujuan: pendidikan dan
dakwah. Tetapi tidak banyak Abna yang bisa mencapaikan dua tujuan itu. Banyak
Abna berhasil menumbuhkan kelas-kelas pembelajaran yang berciri Alkhairaat,
tetapi tidak begitu banyak yang dapat mengembangkan dakwah.
Ustad Gani berkelana dari kampung ke kampung dengan dua sayap: pendidikan dan dakwah. Di mana ada dakwah—dalam tiga momen dakwah di atas—di sana tumbuh Madrasah Ibtidaiyah Alkhairaat. Ustad Gani memang lebih banyak meninggalkan kelas-kelas pembelajaran di Kalumpang, tetapi ia telah memperkenalkan dan menguatkan Alkhairaat di kampung-kampung.
Renjana alias passion-nya untuk memperkenalkan
dan mengembangkan sekolah-sekolah Alkhairaat adalah pilihannya. Pekan ke pekan
sepanjang tahun adalah pidato-pidato yang menggelegar, melintasi kampung.
Sampai-sampai ketika Ustad Gani, suatu kesempatan kembali lagi ke Kalumpang,
dan masuk ke kelas-kelas kami, ia seperti berdiri di atas podium bersulan
janur; dan kami murid-muridnya terpana mendengarkan penjelasan subject-matter
mata pelajaran qawaid dan balaghah rasa pidato
di atas podium-podium di kampung.
Mendatangi dan didatangi
Ustad Gani adalah nama kultural, sedangkan AGK
adalah nama politik. Dalam dua nama itu, guru kami ini mengalami dan menjalani
dua dunia yang berbeda, meski berkelindan. Dalam nama politik, AGK berada dalam
pusaran elite. Antroponimi AGK tumbuh dari relasi kuasa. Dalam posisi ini, ia
didatangi karena menjadi titik pusat bahkan sumbu dari segala relasi kuasa yang
membentuk semesta kesuksesan sekaligus kerumitan-kerumitan yang gampang-gampang
susah dinalari.
Sebagai Ustad Gani, guru kami ini adalah dai
dan pengembang Alkhairaat. Dialah satu dari segelintir Abna (sapaan Guru
Tua—pendiri Alkhairaat—untuk semua murid yang lahir dari pendidikan Alkhairaat)
yang mengembara dalam kurun dua atau tiga dekade di kampung-kampung, Tak ada
gaji untuk kembara dakwah ini, tetapi ia tak pernah lelah menyapa dan mengajak
khalayak masyarakat bawah untuk beragama dengan baik dan bersekolah. Sebagai
Ustad Gani, ia memadukan dakwah untuk pendidikan dan pendidikan sebagai dakwah.
Saat menjadi AGK–sebagai nama eksonim Gubernur Maluku Utara—perhatian Ustad Gani pada pendidikan sebagai dakwah tidak pernah berhenti, meski Ustad Gani tidak lagi berdiri di podium-podium di kampong-kampong. Mungkin banyak orang tidak tahu bahwa proses pendirian Fakultas Kedokteran Universitas Khairun yang melintasi masa jabatan tiga rektor, AGK tidak hanya mendukung, tetapi meluangkan waktu dari kesibukannya sebagai gubernur, menemani rektor (Husen Alting) dan dua mantan rektor (Rivai Umar dan Gufran A. Ibrahim) pergi bertemu para menteri terkait, Menteri Kesehatan dan Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. Tak cukup sampai di sini, Ustad Gani sebagai AGK—dengan kuasa padanya—membantu mendirikan gedung kuliah dan kantor dekanat, laboratorium farmasi, dan peralatan laboratorium untuk Fakultas Kedokteran Universitas Khairun, pembahasan lahan kampus, dan beasiswa untuk studi lanjut dosen ke S2 dan S3.
Catatan ringan dan ringkas yang disampaikan dalam acara buka puasa bersama dan tahlilan Abnaulkhairaat dalam memperingati hari ke-5 wafatnya Sang Guru KH Abdul Gani Kasuba, Lc di Pondok Pesantren Alkhairaat Kalumpang, Ternate, 19 Ramadan 1446 H/19 Maret 2025 M.