Inkonsistensi, Rancu, dan Lemahnya Nalar tentang Syuhrah dan Istifadhah di tulisan Menakar dan Terputus (Bagian V)

Tulisan ini adalah lanjutan menulis secara santai saat tidak ada kesibukan yang padat (lha wong Imad selalu lari dari pokok yang ia permasalahkan yaitu kitab sezaman, padahal tidak ada ulama mensyaratkan itu) dari tulisan inkonsistensi keempat beberapa waktu yang lalu terhadap tiga tulisan Imad; Menakar, Terputusnya dan Ilmu Nasab serta beberapa opininya di website mereka yang tetap meperlihatkan framing-framing yang sengaja ia bangun.

Sebelum fokus ke lemahnya nalar Imad dalam memahami dan menganalisis syuhrah dan istifadhah terhadap nasab Ba‘alwi, sangat baik kiranya ditunjukkan hal-hal berikut:

Pertama, Imad menulis: salah satu metodologi para ahli nasab, dalam meneliti apakah sebuah kabilah tersambung atau tidak kepada Nabi Muhammad Saw., adalah dengan mengkonfirmasinya dengan kitab-kitab sezaman dengan tokoh yang diteliti” (Terputusnya, h. 6) kemudian ia menulis di websitenya sendiri dengan judul Kitab Sezaman adalah Mutlak untuk Meneliti Kesahihhan Nasab. Ia mengutip Husein bin Haidar al-Hasyimi panjang lebar, sayangnya lagi-lagi ia menghilangkan sebagian kalimat yang Husein tulis, Perhatikan, Imad kutip mengutip tulisan Husein berikut:

يعد النسابة طبقات السلسلة ويقدر تواريخ الولادة والوفاة اذا جهلت لغير العلويين، ويوزع الطبقات على الفترة الزمنية التي شغلتها السلسلة ، ويوثق هذه الطبقات من المصادر المعتبرة ما امكن الى آخر طبقة يمكن توثيقها وتخريجها من تلك المصادر

Lalu imad terjemahkan (perhatikan kalimat yang ditebalkan) “… lalu memperkirakan tanggal lahir dan kematian (nya masing-masing), jika tidak diketahui, (ini) bagi (silsilah) non-alawi (jika ia alawi biasanya tanggal lahir dan wafat tercatat rapih) lalu membagi tobaqot- tobaqot dengan periode waktu (tahun hidup yang ditempati silsilah tersebut…”  

Padahal Husein menulis dalam Risalah fi Ilm al-Nasab (h. 184) berikut:

 يعد النسابة طبقات السلسلة ويقدر تواريخ الولادة والوفاة اذا جهلت لغير العلويين، أو إذا جهل بعضها

 …بالنسبة للعلويين ويوزع الطبقات على الفترة الزمنية التي شغلتها السلسلة

Kalimat أو إذا جهل بعضها بالنسبة للعلويين (atau jika sebagiannya darinya tidak diketahui bagi alawiyyin) dengan sengaja Imad hilangkan lalu ia terjemahkan diberi kurung di atas (jika ia alawi biasanya tanggal lahir dan wafat tercatat rapih), penulis otomatis teringat buku Syekh Idahram yang mengulas kebohongan Wahabi. Mengapa Imad lakukan itu? sebab: (1) memang niatnya framing agar pembaca meyakini bahwa kalau alawiyyin tidak ada yang tidak tercatat dalam buku, artinya semua harus tercatat dalam buku. Padahal sebuah catatan (التسجيل) tidak hanya yang ada dalam buku, tetapi mansukrip, catatan keluarga dan sebagainya masuk dalam bentuk sumber; (2) apa yang dinyatakan Husien namun sengaja Imad hilangkan menunjukkan bahwa sebagian turunan Ali dan Fatimah (alawiyyin, termasuk ba‘alwi) memang tidak tercatat tahun lahir dan wafatnya secara rapi. Hal ini telah ditunjukkan oleh al-‘Ubaidili (w. 430 H), al-’Umariy (w. 443/4459/490 H) saat menyebut Abu Muhammad al-Hasan, Abu al-Ghanaim Muhammad bin al-Dilal, Ahmad al-Abah; (3) apa yang Imad kutip dari pernyataan Husein (penulis modern;sekarang, bukan ulama dahulu) sama sekali tidak menunjukkan harus ada kitab sezaman hal ini dibuktikan dengan pernyataan Husein lainnya di kitab yang sama yaitu:

  • (a). halaman 29 Husein dalam bukunya menulis bahwa ilmu nasab dibantu/diambil dari beberapa sumber seperti al-Qur’am dan hadis, teks-teks sejarah, apa yang sudah ditulis/tercetak dalam buku, tulisan arkeologi, prasasti, dokumen/catatan yang terpercaya, kesaksian-kesaksian yang nyata/jelas, syair-syair yang terkait. Husein membahas ini dalam 10 pokok ilmu nasab. Hal ini menunjukkan bahwa referensi ilmu nasab tidak hanya terbatas pada kitab yang sudah dicetak apalagi sezaman.
  • (b). halaman 60-81 Husein menulis macam-macam musyajjar yang dapat dipakai, dan seluk beluknya. Dengan demikian tidak hanya terbatas pada kitab yang dicetak dan sezaman sebab musyajjar kadang muncul pasca zaman seseorang yang dimuat nasabnya di dalam musyajjar seperti al-Janadi (w. 730/2 H) musyajjarkan nasab Abi Jadid ba’alwi (w. 620 H) sampai ke Abdullah/’Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir (lihat narasi al-janadi I-III).
  • (c). Halaman 33-34 Husein menyatakan secara tegas bahwa nasab bagi manusia seperti sanad bagi khabar (hadis). Disini juga menunjukkan keawaman Imad yang beberapa waktu lalu mencoba mengingkari kemiripan isnad dengan pola musyajjar. Pola sanad hadis lebih rumit sebab yang diriwayatkan/disampaikan dari perawi satu ke perawi lainnya itu mencakup tiga hal yaitu: orang (perawi/rijal hadis, keseluruhan sanad berisi ini), matan hadis yaitu sabda nabi suci Muhammad saw, dan metode transmisi seperti mendengar, mengabarkan dan sebagainya. Sementara nasab penyampaiannya hanya fokus pada rijal saja yaitu orang perorang, siapa anak, ayah, kakek dari anak tersebut dan seterusnya; ibarat sebuah sanad. Point penting saat Husein menyamakan pola isnad dengan nasab tentu menunjukkan sumber dari keduanya; baik sanad maupun nasab tidaklah sezaman antara kitab dengan perawi atau orang yang disebut nasabnya melainkan berbeda zaman.

Penjelasan-penjelasan bagian ini menunjukkan framing, bahkan Imad culas dalam tulisan Terputusnya halaman 6 dan opininya di websitenya, maka pernyataan harus ada kitab sezaman adalah tidak benar.

Kedua, Imad mengutip pernyataan Ibn Hajar al-Asqalani (Terputusnya h. 39):

ان النسب مما يثبت باالإستفاضة إلا ان يثبت ما يخالفه

Pernyataan lengkap Ibn Hajar (773-852 H), (h. 46-47, 2009) sebagai berikut:

ويكفي في ثبوت كونه منهم وجود الشهرة لمن يدّعى ذالك, فان النسب مما يثبت باالإستفاضة إلا ان يثبت ما يخالفه. وتقبل الشهادة بعضهم لبعض

“Dan cukup tetap berpegang (menetapkan) keberadaannya dari mereka (turunan dan kerabat/keluarga dari sahabat Tamim al-Dariy; w. ± 40 H) (melalui) adanya syuhrah/masyhur bagi siapapun (dari turunan dan kerabat/keluarga Tamim) yang mengaku itu, karena sesunggunya nasab adalah sebagian dari apa yang bisa ditetapkan dengan metode istifadhah kecuali telah sahih sesuatu yang menentangnya. Dan diterima kesaksian sebagian mereka untuk sebagian lainnya”.

Pernyataan Ibn Hajar: (1) terkait dengan pertanyaan apakah ditetapkan keberadaan mereka sebagai kerabat/keluarga dari sahabat Tamim al-Dariy berdasarkan perkataan mereka saja? Dan cukupkah dengan kesaksian sebagian mereka terhadap sebagian lainnya; (2) menunjukkan bahwa syuhrah dan kesaksian sebagian atas sebagian lainnya dari kerabat dan turunan Tamim sudah cukup; (3) menandaskan tanpa ada kitab tertulis sezaman dapat diterima pernyataan seseorang dari keluarga Tamim berdasarkan syuhrah dan kesaksian. Penting sekali diungkap dan ini telah Ibn Hajar tegaskan dalam konteks ini bahwa ulama nasab sepakat bahwa sahabat Tamim al-Dari tidak memiliki anak laki-laki (Ibn Hajar, h. 46). Tentu pencatatan apalagi dalam kitab yang dicetak/ yang hadir sampai di masa Ibn Hajar tidaklah sampai mendetailkan siapa-siapa kerabat Tamim al-Dari mengingat sahabat tersebut tidak memiliki anak laki-laki maka Ibn Hajar di masanya mencukupkan pada pengakuan mereka yang hidup semasa dengannya dengan dibuktikan kesaksian dan syuhrah bahwa mereka memang kerabat Tamim al-Dariy. Perlu diingat jarak Tamim al-Dariy ke Ibn Hajar sekitar 733-812 tahun. Disinilaih letak kekeliruan framing Imad yang luar biasa bahwa harus ada kitab sezaman.    

Ketiga, sumber-sumber dalam menentukan nasab tidak hanya dalam kitab yang sudah dicetak dan sezaman, namun juga catatan-catatan (التسجيل) baik bentuknya dokumen pribadi, pohon nasab dan sebagainya yang datangnya kemudian. Terpenting yaitu terkonfimrasi oleh ulama berdasarkan syuhrah dan istifadhah itu telah disepakai oleh ulama. Sayangnya Imad selalu menframing bahwa semua konfirmasi ulama seperti al-Sakhawi dan lainnya termasuk ulama di Yaman (lihat Narasi al-Janadi III) tertolak padahal tidak ada yang menafikan nasab ba‘alwi di zaman-zaman tersebut.

Sketch: 1001 Inventions