Epistemologi Kritis Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki dalam Islam

Prolog

Kebebasan memilih partai politik terbuka di tahun 1999 M, kepemimpinan perempuan bukanlah suatu problema bagi penggemar Bung Karno (w. 1970 M) dan kader marhaenis lainnya, dimana saat itu mungkin masih banyak yang mempersoalkannya. Penulis sebagai mahasiswa transisi dari Orba ke reformasi, tanpa ragu mencoblos PDIP demi menjagokan Ibu Megawati untuk memimpin negara ini. Seiring perjalanan waktu, partai berlambang banteng moncong putih mengalami konflik lalu keluarlah kader senior Eros Djarot di tahun 2000, Dimyati Hartono (w. 2018 M) di tahun 2002, dan diikuti gelombang kedua oleh Roy BB Janis (w. 2020 M), Noviyanti Nasution serta beberapa lainnya pasca muktamar II di Bali tahun 2005. Kemunduran mereka sudah pasti bukan karena permasalahan gender.

Epistemologi Kritis tentang Kesetaraan

Pengantar di atas bukanlah ajakan berpolitik atau tulisan politik, melainkan untuk kembali melihat kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam Islam sudah disebutkan misalnya QS: al-Nahl; 97 dan hadis riwayat Abu Daud (w. 275 H) dan al-Turmudzi (w. 279 H) kalau perempuan adalah ‘saudara kandung’ laki-laki. Dalam fiqh klasik hal yang paling menjadi polemik adalah kepemimpinan perempuan. Memang ditemukan mayoritas ulama melarang kepemimpinan perempuan, namun itu bukanlah sebuah konsensus (ijma‘). Al-Thabariy (w. 310 H), dan sebagian ulama bermazhab Malikiy membolehkan (Ibn Hajar, XIV).

Semua bidang di masa kini, perempuan telah memasukinya, maka kesetaraan apa yang masih diinginkan ? pertanyaan ini penting mengingat dalam kehidupan modern, perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam hak memperoleh pendidikan, politik, sosial dan lainnya dapat dinyatakan telah ‘sejajar’ meski kita tidak boleh menutup mata, berdasarkan beberapa penelitan masih terdapat diskriminasi terhadap kaum Hawa di tempat, bagian dan lapangan tertentu yang harus dibenahi secara bersama-sama.

Penekanan terhadap epistemologi kritis tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki, demi meninjau peranan mereka di ranah publik dengan analogi tugasnya sebagai ibu bagi yang telah berkeluarga, kodratnya sebagai perempuan dan pekerjaan yang  sesuai dengannya. Al-Ghazaliy (w. 1996 M) tokoh yang sering disebut sebagai pendukung kesetaraan perempuan dan laki-laki, tidak menapik kalau perempuan itu memiliki tugas ‘khusus’ (الوظيفة الأولى) bila dia adalah seorang ibu. Anak-anak dalam asuhannya akan matang memperoleh keutamaan dan penjagaan di masa pertumbuhan. Ulama Mesir ini gelisah jika ibu memberikan anaknya diasuh oleh pembantu (al-Sunnah al-Nabawiyyah, cet X 1992).

Oleh sebab itu, dapat didalami kenapa ulama berpendapat jika terjadi perceraian, maka anak yang belum balig atau belum mumayyiz berada dalam asuhan ibunya bukan bapaknya, kecuali ibunya tidak memenuhi kualifikasi. Ibn al-Mundzir al-Syafi’iy (w. 318 H) meriwayatkan ini adalah ijma‘ (‘Aun al-Ma’bud, VI). Bahkan Imam Hanafi (w. 150 H) menilai ibu yang non Muslim lebih berhak dalam mengasuh anak yang belum baligh ketimbang ayahnya yang Muslim (Tuhfah al-Fuqaha, II). Logika hukum tersebut berpijak dari hadis Nabi suci Muhammad saw tentang kasih sayang ibu yang menjadi salah satu faktor disabdakan hadis mengenai orang yang lebih pantas/utama untuk dilayani dengan baik yaitu ibu, ibu dan ibu kemudian baru bapak (al-Bukhariy, IV). 

Dalam kaitan dengan kodrat perempuan, Quraish Shihab menyatakan ada bias ulama dahulu namun ada pula bias cendikiawan kontemporer; mungkin terlalu ‘menggebu-gebu’ dalam membela hak-hak perempuan. Bias tersebut dapat mengakibatkan peremehan terhadap perempuan, sebab mempersamakan mereka secara penuh dengan lelaki menjadikan mereka menyimpang dari kodratnya, dan ini adalah pelecehan (Perempuan, 2005; Ja’far Assagaf, jurnal al-Wardah, 2012).

Dari sini pertanyaan mendasar akan muncul, pekerjaan apa saja yang cocok untuk perempuan ? jawabannya semua pekerjaan dapat dilakoni oleh mereka. Perempuan tidak terlarang menjadi pemimpin, tentara, olahragawan dan sebagainya. Akan tetapi, bila pertanyaan itu diarahkan pada pekerjaan apa yang ‘sesuai’ dengan kodrat mereka sebagai perempuan, disinilah mungkin akan muncul polemik. Perempuan dapat menjadi tentara, petinju dan pegulat, namun tentu itu juga tidak dapat dinyatakan secara umum (كلّيّة), hal ini tentu berbeda dengan laki-laki  yang dapat berlaku secara umum. Dalam konteks ini, jangan diabaikan pendapat tokoh feminis seperti Madam Sarah Grand (w. 1943 M) di Dailiy Chronicle 25 Agutus 1921 -pengarang novel The Heavenly Twin (terdiri dari 1149 halaman versi pdf)- menyatakan gadis yang bermain sepakbola, tinju, atau senam dan jenis latihan fisik lain yang terlalu berat …. penampilannya tidak pernah ideal. Meski ia tokoh feminis, tetapi ia tidak menyetujui perempuan bermain sepakbola. (https://historia.id/olahraga/articles/sepakbola-tanpa-batas-gender-6kBjP).

Penulis tidak sepakat dengan Madam Sarah, tetapi perlu dipertimbangkan tentang hal mensejajarkan kedua jenis kelamin itu dalam satu arena. Sampai saat ini, di bidang pendidikan, pekerjaan antara perempuan dan laki-laki, sama-sama berjuang memperoleh apa yang mereka inginkan. Keduanya benar-benar disejajarkan, tidak pernah terlihat di acara cerdas-cermat misalnya, pesertanya semua laki-laki, melainkan disana ada juga perempuan. Demikian pula di perguruan tinggi, sekolah (kecuali tertentu seperti pondok pesantren), perempuan dan laki-laki selalu bersama-sama bertarung memperoleh juara dan terbaik di tempat masing-masing tanpa membedakan kelas berdasar jenis kelamin.

Akan tetapi hal itu tidak terlihat jika analogi kesetaraan ‘bebas’ dipakai dalam olahraga yang keras seperti tinju, sepakbola dan lainnya. Benar, Tihana Nemcic adalah perempuan pertama yang melatih club sepakbola laki-laki Kroasia. Dalam hal melatih yang difungsikan adalah intelgensi sang pelatih, dan ini jelas berbeda saat dia masih sebagai pemain sepakbola perempuan. Sebagai pemain sepakbola, petinju dan olahraga berat lainnya, perempuan di saat bertanding tentu dengan sesama jenisnya dan bukan dengan lelaki. Jika paradigma berpijak dari persoalan fisik, maka bukankah sudah terjadi perbedaan tentang kodrat keduanya ? Konteks inilah yang patut dicermati tentang kesetaraan. Bila kesetaraan itu tanpa batas, tentu FIFA akan menjadwalkan pertandingan club Bayern Munchen laki-laki versus club Bayern Munchen perempuan. Itu tidak terjadi, sebab akan mengeluarkan perempuan dari kodratnya. 

Epilog

Pekerjaan dan profesi perempuan berpijak dari kesetaraan dengan laki-laki tanpa diskriminasi. Namun tidak mengabaikan tugas utama mereka sebagai ibu dan kodratnya sebagai perempuan. Perdebatan di antara feminis seperti Madam Sarah Grand, telah menunjukkan tentang arti dan arah kesetaraan bagi perempuan yang memiliki tugas tersebut dan kodrat alaminya..[]

Foto: nu online.jatim (NOJ/lsm)