Ragam Ulama Berpolitik dalam Sejarah Islam

Islam sebagai sebuah agama tidak memisahkan urusan dunia dan akhirat, terlihat dalam QS: al-Qashash;77:


وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ


Artinya: “dan carilah apa yang Allah anugerahkan kepadamu (dari) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu, dqn janganlah kaum berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang ber buat kerusakan”.


Nabi suci Muhammad saw selain sebagai utusan Allah, beliau juga bertugas mengatur tatanan masyakarat dalam sebuah pemerintahan, kemudian diteruskan oleh sahabat dan generasi Islam selanjutnya. Pada prinsipnya kondisi masyarakat bisa berjalan aman, tentram dan sejahtera itulah tujuan Islam. Maka bentuk dari sebuah pemerintahan tersebut tidak ditetapkan oleh Islam secara spesifik apakah monarkhi, demokrasi atau lainnya. Dalam konteks ini maka sejarah Islam mencatat sekian ulama ada yang terlibat dalam politik pemerintahan maupun ada yang tidak. Secara garis besar ulama yang terlibat di politik pemerintahan dalam sejarah Islam dapat dilihat dalam tiga kategori besar.


Pertama, ulama yang bertugas sebagai pemimpin tertinggi negara juga adalah seorang pemuka agama. Kategori pertama ini terlihat dalam sejarah khulafa al-rasyidin (11-40/41 H). Khalifah Abu Bakar (w. 13 H), Umar (w. 23 H), Utsman (w. 35 H), Ali (w. 40 H) menduduki posisi ini. mereka juga dikenal sebagai orang yang ahli dalam agama, meski fatwa terkait keagaaman lebih banyak lahir dari Umar dan Ali ketimbang dua khalifah lainnya. Pada posisi ini, al-Hasan sebagai pengganti Ali -perspektif Sunni- tidak banyak memerankan pemimpin negara maupun fungsinya sebagai ulama karena pendeknya masa jabatannya sekitar 6-7 bulan. Namun di masanya, al-Hasan (w. 49/51 H) mampu menyatukan arah politik kaum Muslimin setelah bersedia menyerahkan jabatannya pada Mu‘awiyah (w. 60 H). Praktis kategori pertama seolah hilang dalam sejarah Islam, kecuali muncul kembali di masa Umar bin Abdul Aziz memerintah pada 99-101 H. Umar yang notabenenya dari bani Umayyah mampu menjadi pemimpin yang adil sekaligus seorang yang alim. Hasan al-Bashri (w. 110 H) dan ulama lainnya jika akan memberikan nasehat pada Umar ibn Abd Aziz, mereka sungkan sebab Umar melebihi mereka dalam hal itu.


Kedua, ulama yang ikut masuk dalam pemerintahan dan ikut membantu jalannya pemerintahan. Kategori ini ada yang menjadi pegawai/pejabat di bagian tertentu seperti Abu Yusuf (w. 182 H) yang mengeluarkan karya al-Kharraj (terkait pajak) maupun yang terlibat lebih langsung tapi bukan berada di posisi tertinggi seperti Ibn Sina (w. 428 H) yang pernah menjadi menteri (wazir) bertugas sebagai negarawan atau pemimpin tertinggi negara juga seorang pemuka agama. Perlu diingat Ibn Sina lebih dikenal sebagai ilmuan di bidang non agama yaitu kedokteran, ketimbang sebagai ulama yang mengeluarkan fatwa. Walaupun Ibn Sina bukanlah orang yang kosong tentang pengetahuna hukum agama (fiqh). Kategori kedua ini, ulama berpolitik menjadi pejabat dan ada yang membantu pemerintahan dalam urusan terkait dengan agama.


Ketiga, ulama yang masuk dalam pemerintahan dan memperoleh tugas khusus untuk mengurusi hal-hal keagamaan yang ada dalam pemerintahan dan masyarakat. Posisi ini banyak ditemukan, baik sebagai Qadhi (hakim) maupun Qadhi Qudhat (semacam hakim agung/hakim tertinggi). Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) pernah menduduki posisi ini.  Ulama yang berada di posisi ini lebih terlihat fungsi ulamanya ketimbang seorang pejabat pemerintah. Walaupun dalam perjalanan, terjadi pasang surut antara ulama dan pemerintah seperti yang terjadi pada Ibn Hajar dan al-Harawi (w. 833 H). Dalam kategori ini sebenarnya ada pula ulama yang tidak menjadi qadhi secara langsung namun negara memberikan otoritas keilmuan padanya melalui lembaga pendidikan seperti Abu al-Ma‘ali al-Juwaini (w. 478 H) yang dikenal dengan imam al-haramain -guru imam al-Ghazali- yang memperoleh hal tersebut dari penguasa bernama Nizam al-Mulk (w. 485 H) melalui Madrasah al-Nizamaiyyah