مِنَ الْعَائِدِيْن وَالْفَائِزِيْن Antara Pembersihan Diri dan Permohonan Maaf‎

Ungkapan min al-‘Aidin wa al-Faizin termasuk ungkapan yang selalu terdengar ketika kaum Muslimin merayakan hari raya Idul Fitri. Agaknya ungkapan tersebut telah mendunia, tidak terbatas hanya di Indonesia melainkan juga di negara-negara yang berpenduduk Muslim. Perkataan min al-‘Aidin wa al-Faizin menurut Fatawa Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta yang dikumpul oleh seorang ulama Salafi/Wahabi? bernama Ahmad bin Abd Razzaq al-Duwaisy menyatakan bahwa hal tersebut adalah bid‘ah. Namun dia pun tak bisa memungkiri kalau dalam ungkapan bid’ah tersebut ada doa bagi saudara muslim, mengandung agar amal (puasa) diterima, panjang umur serta kebahagiaan maka itu tidak mengapa/tidak dilarang (Fatawa Lajnah diposting 1431 H). Berarti ada bid’ah yang baik, meski ini mungkin akan menjadi polemik dengan kelompoknya sendiri.

Perkataan min al-‘Aidin wa al-Faizin jika dipahami lebih kontekstual dari aspek sejarah, ada riwayat yang dinilai memiliki dasar makna dari ungkapan tersebut. Al-Muafi bin Zakaria al-Nahrawani (w. 390 H) meriwayatkan hadis yang cukup panjang dalam karyanya الجليس الصالح الكافي والأنيس الناصح الشافي dari sahabat Aus al-Anshari (w. ± 3 H) bahwa malaikat akan menyerukan pada kaum muslimin yang akan mengerjakan shalat ‘Id dengan seruan berisi Allah maha penyayang dan seterusnya. Lalu saat kaum msulimin selesai mengerjakan shalat ‘Id, para malaikat akan menyerukan:

ارجعوا ‌إلى ‌منازلكم ‌راشدين ‌فقد ‌غفر ‌لكم ‌ذنوبكم

artinya: “kembalilah kalian (yang telah selesai shalat ‘Id) ke rumah kalian dalam keadaan memberi petunjuk (beruntung) maka sungguh telah diampuni bagi kalian dosa-dosa kalian”.

Ungkapan min al-‘Aidin wa al-Faizin secara harfiah berarti: (semoga kita semua) termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang”. Bila ungkapan tersebut dikaitkan dengan potongan kalimat‌ راشدين ‌فقد ‌غفر ‌لكم dari riwayat di atas, merujuk pada dua hal. Pertama, melalui kata راشدين menunjukkan orang yang beridul fitri dapat memberikan petunjuk, dan karena itu otomatis dirinya sendiri telah memperoleh petunjuk sebelum memberikan petunjuk. Selain itu kata راشد ‌dalam kaijian usul fiqh dapat berarti orang yang memiliki kecakapan dalam bertindak (rusydah), karena dia tahu mana yang baik dan buruk, dan karena itu seolah-olah dia telah telah memberi petunjuk sebab dirinya sendiri bisa memulai memberi contoh menghindari dosa setelah puasa Ramadhan; kedua, melalui kata ‌فقد ‌غفر dengan jelas bahwa orang yang puasanya diterima maka akan diampuni dosanya seperti dia tidak berdosa alias suci.  

Penjelasan antara riwayat dan ungkapan min al-‘Aidin wa al-Faizin memiliki aspek pertemuan berupa ungkapan pembersihan diri dari dosa dari kata ‌غفر (diampuni) dan karena itu mereka kembali suci (al-‘Aidin) dan sesama manusia saling meminta maaf dan memaafkan; permohonan maaf terlihat bagi mereka yang راشد sehingga menjadi al-faizin (menang). Dengan demikian, ungkapan min al-‘Aidin wa al-Faizin meskipun secara teks berarti (semoga kita semua) termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang”, namun tidak keliru pula orang saat mengucapkan min al-‘Aidin wa al-Faizin diikutkan dengan pernyataan mohon maaf lahir dan batin. Yang harus dipahami itu bukan arti teksnya, melainkan maksud dari teks tersebut yaitu meminta maaf dan memaafkan akan menjadikan kedua belah pihak kembali suci (al-‘Aidin) dan memperoleh kemenangan (al-Faizin).

wa Allaâhu a‘lam bi al-shawâb …

ilustrasi: pngtree.com